Sekarang kelanjutan mengenai aurat dalam shalat untuk wanita muslimah dari Kitab Manhajus Salikin karya Syaikh As-Sa’di rahimahullah.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
وَمِنْ شُرُوْطِهَا : سَتْرُ العَوْرَةِ بِثَوْبٍ مُبَاحٍ لاَ يَصِفُ البَشَرَةَ
“Dan di antara syarat shalat adalah menutup aurat dengan pakaian yang mubah yang tidak menyifatkan kulit.”
Aurat Wanita dalam Shalat
Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Allah tidaklah menerima shalat wanita yang telah haidh (telah baligh) kecuali dengan mengenakan khimar.” (HR. Abu Daud, no. 641; Tirmidzi, no. 377; Ibnu Majah, no. 655. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Yang dimaksud shalat wanita yang telah haidh yaitu shalat wanita yang telah baligh. Namun bukan hanya haidh sebagai tanda baligh, tanda baligh bisa pula dengan ihtilam (mimpi basah). Di dalam hadits ini diibaratkan wanita baligh dengan haidh karena jadi tanda baligh yang khusus bagi wanita. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari (5:277) menyatakan bahwa sepakat para ulama, mimpi basah yang didapati laki-laki dan perempuan menjadikan wajib untuk ibadah, hudud, dan hukum lainnya.
Khimar yang dimaksud dalam hadits ini adalah sesuatu yang menutup kepala wanita.
Beberapa faedah dari hadits ini:
Pertama: Wajib bagi wanita yang telah baligh untuk menutup kepalanya dalam shalatnya.
Kedua: Jika rambut wanita terbuka dalam shalatnya, shalatnya tidaklah sah, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Tirmidzi untuk judul bab hadits ini.
Ketiga: Anak perempuan yang belum baligh shalatnya tetap sah walau ia shalat dalam keadaan kepala terbuka karena auratnya lebih ringan dibanding wanita dewasa.
Keempat: Adapun untuk wajah, wanita hendaklah membuka wajahnya ketika shalat. Hal ini adalah ijmak (kata sepakat para ulama) seperti dinyatakan oleh Ibnu Baththol dan Ibnul Mundzir. Kecuali jika ada laki-laki yang bukan mahram (seperti ipar laki-lakinya, anak dari pamannya atau sepupu) wajib menutup wajahnya menurut pendapat paling kuat di antara pendapat para ulama. Karena untuk memandang itu jadi aurat, menutup wajah lebih menjauhkan diri dari godaan, menutup wajah lebih menyelamatkan agama, dan membawa maslahat bagi kaum muslimin.
Kelima: Adapun dua telapak tangan sampai dengan pergelangan tangan, menurut jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh menampakkan telapak tangan dalam shalat.
Keenam: Adapun kedua telapak kaki untuk wanita adalah aurat dalam shalat. Inilah yang jadi pendapat Syafi’iyah, Hambali, Malikiyah.
Masalah Kaki Wanita dalam Shalat
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa ia bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan gamis dan kerudungnya saja, lalu tidak memakai izar (sarung di bawahnya)?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّى ظُهُورَ قَدَمَيْهَا
“Boleh jika memang gamisnya lebar memanjang hingga menutupi punggung telapak kakinya.” (HR. Abu Daud, no. 640. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini yang tepat adalah mawquf, hanya perkataan dari Ummu Salamah, bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dinyatakan yang sama oleh ‘Abdul Haqq Al-Isybiliy. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:335-336). Walaupun hadits ini dhaif, Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa inilah yang dituntut minimal pada wanita yaitu ia menutupi seluruh badannya walaupun dengan selembar kain dari atas sampai bawah. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:336.
Yang jelas tetap ada perintah menutup dirinya dengan gamis dan penutup kepala. Ini sudah dikenal sejak masa salafush shalih dahulu. Sebagaimana ada riwayat dari Ummul Hasan bahwa Ummu Salamah—istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—shalat dengan memakai gamis dan khimar. Ada juga riwayat dari Al-Auza’i bahwa ‘Atha’ mengatakan para wanita dahulu shalat dengan gamis dan khimar. Begitu pula ditemukan hal ini pada istri Nabi lainnya seperti Maimunah sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah Al-Khaulani. Menutup dengan gamis yang lebar dan khimar, inilah yang lebih sempurna dan afdal serta lebih baik dalam menutup aurat wanita dalam shalat.Inilah yang nampak dari shahabiyah dahulu ketika shalat sebagaimana diceritakan oleh Aisyah saat menyebut pakaian al-muruth (pakaian yang lebar) ketika para shahabiyah menghadiri shalat Shubuh. Lihat Minhah Al-‘Allam, 2:337.
Menutup Aurat di Dalam Shalat Berbeda dengan Di Luar Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Majmu’ah Al-Fatawa (22:113-114), “Apabila wanita shalat sendirian, maka ia diperintahkan untuk menutup kepalanya. Namun kalau ia berada di rumah dalam keadaan tidak shalat, ia boleh membuka kerudungnya. Seorang wanita menutup auratnya dalam shalat karena menjalankan perintah Allah. Karenanya tidak boleh seseorang melakukan thawaf keliling Kabah dalam keadaan telanjang walaupun ia melakukannya sendirian di malam hari. Begitu pula seseorang tidak boleh shalat dalam keadaan telanjang walaupun ia shalat sendirian. Maka dapat diketahui bahwasanya menutup aurat dalam shalat berbeda dengan menutup aurat di luar shalat, yang satu punya bahasan sendiri berbeda dengan lainnya.”
Wallahu a’lam. Bahasan ini masih bersambung insya Allah.
Referensi:
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Majmu’ah Al-Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’.
- Minhah Al–‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maraam.Cetakan ketiga, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
—
Disusun di Darush Sholihin, 28 Rabi’ul Awwal 1440 H, Kamis Sore
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com